%0 Thesis %9 S1 %A KHAWASI, ISIKHA AISI %A UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA, %A FAKULTAS HUKUM, %A JURUSAN ILMU HUKUM, %B ILMU HUKUM %D 2025 %F eprintuntirta:50152 %I UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA %K Forced marriage, criminal act of rape, criminal liability Pemaksaan perkawinan, tindak pidana perkosaan, pertanggungjawaban pidana. %P 109 %T TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PEMAKSAAN PERKAWINAN AKIBAT TINDAK PIDANA PERKOSAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KUHP %U https://eprints.untirta.ac.id/50152/ %X The phenomenon of sexual violence cases in Indonesia has significantly increased, particularly forced marriage as a means of resolving criminal acts of rape. This practice not only violates human rights but also contradicts applicable positive law, such as Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence Crimes and Law Number 1 of 2023. This study aims to identify criminal law provisions related to forced marriage resulting from rape and to analyze the criminal accountability of perpetrators. A normative juridical approach with a descriptive-analytical method is used, focusing on a review of legislation and related literature. The data sources consist of secondary data, collected through library research. The analysis is grounded on criminal law theory and the theory of criminal responsibility. The results of the study show that forced marriage resulting from rape is explicitly regulated in Article 10 of Law Number 12 of 2022 on Sexual Violence Crimes, which provides for criminal sanctions of up to 12 years of imprisonment. However, implementation in practice faces various challenges, including social pressure and the misuse of the restorative justice concept. Although the legal framework is adequate, more consistent law enforcement with a victim-centered perspective is needed to ensure justice. Efforts such as increased legal awareness campaigns, strengthening victim protection, and specialized training for law enforcement officers to handle sexual violence cases professionally are essential. %Z Fenomena kasus kekerasan seksual di Indonesia sangat meningkat, khususnya pemaksaan perkawinan yang dilakukan sebagai bentuk penyelesaian atas tindak pidana perkosaan. Praktik ini tidak hanya melanggar Hak Asasi Manusia, tetapi juga bertentangan dengan hukum positif yang berlaku, seperti Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undangundang Nomor 1 Tahun 2023. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ketentuan hukum pidana terkait pemaksaan perkawinan akibat tindak pidana perkosaan serta menganalisis pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan metode deskriptif analitis, berfokus pada kajian peraturan perundang-undangan dan literatur terkait. Sumber data yaitu data sekunder dan Teknik pengumpulan data studi kepustakaan. Teori hukum pidana dan teori pertanggungjawaban pidana digunakan sebagai landasan analisis. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemaksaan perkawinan akibat tindak pidana perkosaan telah diatur secara tegas dalam Pasal 10 Undangundang nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memberikan ancaman pidana hingga 12 tahun. Namun, implementasi dilapangan menghadapi berbagai kendala seperti, tekanan sosial, dan penyalahgunaan konsep restorative justice. Meskipun regulasi hukum telah memadai, penegakan hukum yang lebih konsisten dan berperspektif korban diperlukan untuk menjamin keadilan. Dengan terus meningkatkan sosialisasi hukum, penguatan perlindungan bagi korban serta pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual secara bijaksana.