Jepang yang pernah hancur dan porak-poranda dalam Perang Dunia II, terutama akibat pemboman Amerika Serikat terhadap dua kota besar Hiroshima dan Nagasaki
(6 Agustus 1945), kini telah bangkit kembali dan berubah menjadi salah
satu "macan" di Asia sebagai negara yang maju dan modern.
Di tengah hiruk pikuk kemajuan Jepang itu, masih adakah orang miskin di Negeri Sakura yang pernah dianggap sebagai "Saudara Tua" namun justru menjadi penjajah di Indonesia itu?
***
Ini tulisan singkat, sehingga jika anda berharap akan menemukan data
rinci mengenai angka kemiskinan dan sebagainya, anda akan kecewa membaca
tulisan ini.
Ini tulisan tentang hal yang saya temui di sela-sela perjalanan singkat
saya menuju Waseda University untuk menemui seorang guru besar yang
memiliki ketertarikan minat yang sama dengan saya.
Jadi di awal tulisan ini adalah waktu yang tepat untuk memutuskan apakah akan meneruskan membaca tulisan ini atau tidak.
Ini versi kemiskinan yang berbeda dari film dokumenter "Japan-A Story of
Love and Hate BBC (English Version)" yang diposting seorang kawan di
muka buku. Film yang sangat baik menggambarkan kemiskinan di Jepang saya
kira, "a must watch movie".
***
Hari itu Sabtu, dua Maret 2013, saya tiba di Stasiun Tokyo.
Waktu di telepon genggam saya menunjukkan puluk 07.00 JST (Japan
Standard Time), masih jauh ke waktu janjian pukul 14.00 di Waseda.
Waseda masih berada di wilayah Kanto, dekat dengan Tokyo.
Jadi saya memutuskan untuk ‘mengenali’ Stasiun Tokyo.
Saya orang sosial, kesempurnaan akan keteraturan dan kemapanan adalah
sesuatu yang mustahil bagi saya, selagi di dunia pasti akan ada patologi
sosial di mana pun itu, bahkan Jepang sekalipun yang dikategorikan
negara maju dan kaya.
Mata saya menubruk pemandangan tak umum, di Jepang yang terkenal bersih.
Sebuah selimut nampak dijemur di pagar umum stasiun, nampak kumuh. Jepret! Satu frame tercipta dari pemandangan tersebut.
Beberapa tuna wisma nampak mulai bergeliat pagi itu. Beberapa tas koper,
kardus alas tidur nampak di salah satu pojok stasiun. Satu lainnya
ditemukan juga di dalam stasiun dekat Tozai line, sebuah kereta bawah
tanah (subway train). Tak kurang enam tuna wisma saya temukan.
Timbul perdebatan dalam hati saat saya ingin mengenal mereka lebih
dalam. Tak usahlah mendramatisir kehidupan, tapi di sisi lain saya ingin
mengetahuinya. Saya bukan tipe jenius, modal saya dari dulu hanyalah
rasa ingin tahu, "curiosity", yang mulai digerogoti kemalasan. Jika hal
terakhir—rasa ingin tahu – itu saya abaikan juga maka selesailah saya,
saya tak punya apa-apa lagi.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengenal lebih dekat dengan salah satu di
antaranya. Yang di dekat Tozai Line nampak tak nyaman. Ia mendekati
beberapa orang yang baru turun dari kereta untuk mendapatkan belas
kasihan. Terlihat orang-orang risih dengan kehadirannya. Yang lainnya
sedang asyik dengan botol beling birnya di dalam stasiun. Saya
memutuskan berkenalan dengan yang diluar. Dekat dengan selimut yang
sedang dijemur.
Namanya Tokugawa, usianya 80 tahun, badannya dibalut jaket kulit cokelat
kemerahan. Ia berasal dari Hamamatsu (masuk wilayah Chubu, kalau saya
tak salah). Rambutnya tak lagi hitam, nampak tak disisir, dibungkus
dalam sebuah topi pet mirip karakter Om Pasikom dalam karakter kartun
Surat Kabar Kompas, mirip topi Ari Wibowo pelantun "Madu dan Racun",
atau topi Hanggoro “Hengky†Tri Rinonce seorang kawan di Korda Kansai.
Yang terakhir itu belum setenar Ari Wibowo memang, tapi suatu saat nanti
akan menjadi terkenal, seorang dokter muda dengan berjuta energi karya.
Saya beruntung bisa berteman dengannya.
Tokugawa sedang menikmati sarapan paginya saat saya sapa. Beberapa buah
roti selai yang biasa dijual di minimarket. Saya duduk di trotoar yang
sama. Membuka bekal roti tawar oles cokelat karya istri tercinta. Saya
menawarinya satu yang ia balas dengan menawari rotinya. Kebanyakan orang
Jepang menjunjung tinggi harga dirinya. Menjadi orang yang dikasihani
adalah hal yang tabu dalam budaya Jepang. Jadi kami makan roti
masing-masing di tengah kesibukan Tokyo pagi itu.
"Pemerintah Jepang tak memberi saya uang," ujar dia, dalam sebuah obrolan.
Seingat saya Jepang punya pasal yang mirip dengan pasal terkenal dalam
konstitusi kita "fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara" (Pasal 34 ayat 1 UUD 1945). Dalam Konstitusi Jepang pasal
senada akan kita temukan di pasal 25: All people shall have the right to
maintain the minimum standards of wholesome and cultured living. In all
spheres of life, the state shall use its endeavors for the promotion
and extension of social welfare and security, and of public health. Anak
kalimat pasal 25 UUD Jepang tahun 1946 ini mirip denganPasal 34 ayat 2
dan 3 UUD 1945: (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan.(3) Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak.
Ya sudahlah pembahasan pasalnya, intinya bahwa ada jaminan sosial dan
jaminan penghidupan yang layak dari pemerintah di kedua negara. Di
Indonesia kita bisa menerka kenapa tidak berjalan. Tapi kenapa tidak
berjalan di Jepang? Padahal jaminan kesejahteraan sosial di Jepang
berjalan untuk warga asing yang bukan penduduk tetap di Jepang seperti
saya. Ada perumahan pemerintah bersubdisi yang terjangkau bagi warga
Jepang dan non-Jepang. Ada uang kesejahteraan anak untuk subsidi
sekolah, susu bayi dan sebagainya. Ketiga anak saya mendapatkan sekitar
Rp.3,5 juta/bulan untuk tunjangan biaya sekolah dan susu bayi. Pada
titik ini, apa yang dikatakan Hikmah (saya biasa memanggilnya dengan
"mbak"), seorang Indonesia yang menikah dengan seorang Jepang menjadi
terasa benar. Banyak orang asing yang masih protes dan mengeluh dengan
mahalnya berbagai biaya di Jepang padahal mereka mendapatkan subsidi dan
lain-lain, lebih singkatnya, tidak bersyukur. Menemukan Tokugawa dalam
keadaan tanpa rumah, tanpa uang, menghadirkan kenyataan bahwa saya masih
jauh dari kata bersyukur.
Saya menawarinya untuk minum kopi bersama di dalam stasiun. Ia nampak
enggan. Mungkin karena rikuh dan akan sangat mencolok di tengah-tengah
orang Jepang yang mendewakan penampilan, fashion is number one. Ya
sudah, kami teruskan mengobrol di trotoar itu. Sehari-hari ia biasa
mangkal di sebuah pusat keramaian sekitar 100 meter dari stasiun. Kalau
malam ia tidur di luar. "Samui dakedo…./Dingin sih tapi……" Saya bisa
menerka, tak ada pilihan lain, shikataganai. Pada jam 10 malam stasiun
mulai ditutup saat saya tanya kenapa tak tidur di dalam stasiun.
Beberapa toko dalam stasiun memang tutup pada jam 9 atau 10 malam.
Saya berusaha untuk kembali menemuinya pukul 8 malam ini. Tapi ia belum
selesai ‘bekerja’ pada jam tersebut. Di akhir perbincangan saya
memintanya untuk berfoto bersama. Bagi saya, foto itu penting. Ia bisa
mewakili 1000 kata menurut pepatah Cina. Tapi Ia nampak enggan. Saya
mengerti. Kepercayaan tak bisa didapat dalam waktu 15 menit 30 menit.
Biarlah saya yang mengalah menuliskan 1000 kata. Belakangan saat di
Waseda University saya bisa menerka alasan lain kemungkinan
keengganannya. Prof Yoko Hosoi, Sosiolog Toyo University, menjelaskan
bahwa seringkali pemerintah Jepang ‘membersihkan’ mereka dari stasiun,
tapi mereka kembali lagi. Pemerintah juga menjamin kesejahteraan mereka,
tapi Jepang kurang dana untuk mensuport mereka. Itu sebabnya pasal yang
disebut di atas tidak berjalan sebagiannya. Hmm… saya memang pernah
membaca bahwa Jepang mengalami defisit anggaran tiap tahunnya. Indonesia
malah kini yang sedang menjadi primadona, sexy lady, incaran negara
maju. Hanya saja kita masih punya pe’er besar di SDM, bukan soal
kecerdasan, tapi lebih soal mental, soal nasionalisme. Dalam bahasa Acep
Purqon, alumni dan senior kami, sexy ladynya gak boleh o’on.
Balik lagi ke Tokugawa, saya tiba pukul 10-an malam di Stasiun Tokyo.
Sebuah jamuan makan malam membuat saya tak bisa tiba pukul 8. Ada
sekitar tiga kardus tidur dekat halte saya. Dua tertutup rapat nampak
lebih hangat. Satu lainnya terbuka pada bagian atas. Nampak Tokugawa
tertidur menahan dingin di tengah gemerlapnya Tokyo. Saya ingin
mengambil fotonya, tapi saya juga ingin Ia menikmati ‘kemerdekaannya’,
kamera saya kembali ke sarungnya. Saya pulang dengan mengenang senyumnya
saat saya tanya apakah Ia masih keturunan shogun.
(Kamar 2 ベルナール Apato, Wakunami. 5 Maret 2013)
*) Penulis adalah mahasiswa asal Indonesia yang sedang tugas belajar pascasarjana di Jepang.
Adakah Kemiskinan di Jepang?
![Adakah Kemiskinan di Jepang?](https://img.antaranews.com/cache/800x533/2013/03/20130305jepang.jpg)
Perlengkapan hidup seadanya milik warga miskin tuna wisma di salah satu sudut kota di Jepang. (Foto: ANTARA LAMPUNG/Dok. Ferry Fathurokhman)