Aziza Ludhfiani, Noor (2015) TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENGALAMI CACAT JIWA. Master thesis, UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA.
Text
TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENGALAMI CACAT JIWA.pdf - Published Version Restricted to Registered users only Download (1MB) |
Abstract
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang - undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan. Setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungawabkan perbuatannya. Akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia berlaku alasan peniadaan pidana salah satunya adalah alasan pemaaf. Alasan pemaaf yang dimaksud disini adalah ketidakmampuan seseorang mempertanggungjawabkan perbutannya akibat kurang sempurna akalnya (cacat jiwa), sehingga orang yang melakukan tindak pidana tidak dipidana jika terbukti mengalami cacat jiwa. Sesuai dengan amanah Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3). Akan tetapi dalam prakteknya hal ini menemui kendala dengan belum adanya aturan yang mengatur batasan cacat jiwa, sehingga pada beberapa kasus dimana pelaku mengalami cacat jiwa pelaku tetap dipidana. Yang menjadi permasalahan yaitu Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku yang mengalami cacat jiwa? Dan bagaimana penerapan dalam proses penegakan hukum pada pelaku yang mengalami cacat jiwa ? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan Pasal 44 KUHP dimana seseorang yang terbukti mengalami cacat jiwa tidak selalu di putus bebas oleh Majelis Hakim. Penulis menemukan adanya ketidaksesuaian pada praktek pelaksanaan antara keputusan yang diambil oleh majelis hakim dengan apa yang diamanahkan Pasal 44 KUHP. Sehingga terjadi ketidak pastian hukum dalam paraktek penegakan hukum. Untuk itu perlu adanya peraturan perundang-undangan yang sah untuk mengatur batasan cacat jiwa agar tidak terjadi ketiak pastian hukum. sehingga tercapai apa yang diamanahkan oleh tujuan hukum itu sendiri, yaitu kepastian hukum dan keadilan
Item Type: | Thesis (Master) | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Contributors: |
|
|||||||||
Additional Information: | Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang - undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan. Setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungawabkan perbuatannya. Akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia berlaku alasan peniadaan pidana salah satunya adalah alasan pemaaf. Alasan pemaaf yang dimaksud disini adalah ketidakmampuan seseorang mempertanggungjawabkan perbutannya akibat kurang sempurna akalnya (cacat jiwa), sehingga orang yang melakukan tindak pidana tidak dipidana jika terbukti mengalami cacat jiwa. Sesuai dengan amanah Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3). Akan tetapi dalam prakteknya hal ini menemui kendala dengan belum adanya aturan yang mengatur batasan cacat jiwa, sehingga pada beberapa kasus dimana pelaku mengalami cacat jiwa pelaku tetap dipidana. Yang menjadi permasalahan yaitu Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku yang mengalami cacat jiwa? Dan bagaimana penerapan dalam proses penegakan hukum pada pelaku yang mengalami cacat jiwa ? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan Pasal 44 KUHP dimana seseorang yang terbukti mengalami cacat jiwa tidak selalu di putus bebas oleh Majelis Hakim. Penulis menemukan adanya ketidaksesuaian pada praktek pelaksanaan antara keputusan yang diambil oleh majelis hakim dengan apa yang diamanahkan Pasal 44 KUHP. Sehingga terjadi ketidak pastian hukum dalam paraktek penegakan hukum. Untuk itu perlu adanya peraturan perundang-undangan yang sah untuk mengatur batasan cacat jiwa agar tidak terjadi ketiak pastian hukum. sehingga tercapai apa yang diamanahkan oleh tujuan hukum itu sendiri, yaitu kepastian hukum dan keadilan | |||||||||
Uncontrolled Keywords: | tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, cacat jiwa | |||||||||
Subjects: | K Law > K Law (General) | |||||||||
Divisions: | 08-Pascasarjana 08-Pascasarjana > 74101-Magister Ilmu Hukum |
|||||||||
Depositing User: | Perpustakaan Pusat | |||||||||
Date Deposited: | 01 Apr 2022 10:01 | |||||||||
Last Modified: | 01 Apr 2022 10:01 | |||||||||
URI: | http://eprints.untirta.ac.id/id/eprint/11348 |
Actions (login required)
View Item |