Search for collections on EPrints Repository UNTIRTA

POLITIK HUKUM PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN SEBELUM DAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

Tadjuddin, Moch (2016) POLITIK HUKUM PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN SEBELUM DAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945. Master thesis, UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA.

[img] Text
POLITIK HUKUM PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN SEBELUM DAN SETELAH AMANDEMEN UUD2.PDF - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (2MB)

Abstract

Political Law To Religious Courts In The Judicial Power System Before And After The Amendment Of The Constitution In 1945 UUD.1945 passed on August 18, 1945, Indonesia held the doctrine of rule of law and independent judicial power. In the history of the Homeland have a replacement for the constitution of the Constitutional UUD.1945 RIS, and to the Constitution. While. Returning again to the UUD.1945, so that the mandate of Article 24 and Article 25 of the Constitution. 1945 can not be implemented purely and consistently, even distorted, so that the judicial authorities as judicial power executor colonial legacy is still valid based on transitional rules UUD.1945. In the archipelago has recognized the existence of the Religious Courts as institutions of judicial power for the people who are Muslim, are authorized to settle disputes between them in civil and criminal cases. The situation is valid until the establishment of Islamic kingdoms and until the arrival of VOC with legal political known in komplexu reseptio theory, initiated by Van den Berg. Dutch colonialism changed the political theory of law with receptio theory initiated by Snouck Hurgroje and Ter Haar. Religious Courts still recognized, but limited and authority in the field of family law. Religious Courts can not implement its own decision, must be confirmed in advance by the District Court. It thus applies to Indonesia's independence, even until 1970. The political situation Religious Courts of law as mentioned above, ending with the Act was passed. No. 7 1989 Religious Courts on December 29, 1989. The Religious Courts as one of the institutions of judicial power and as an independent judicial body with authority settlement to the case outlined by Article 49 of the law and may implement its own decision. But it is still very possible existence altered or deleted, depending on the legal political body of lawmakers. Reforms in 1998 and was prolonged by UUD.1945 changes, specifically changes to Article 24 and Article 25, which governs the Judicial Power. Religious Courts as one of the executors of judicial authorities fall within Article 24 UUD.1945 change results. Changes in the Constitution. 1945 followed up with changes in the law. No. 7 of 1989 with the Act. No. UU.No.50 3 of 2006 and 2009. Under the law the existence and position of Religion Court is getting stronger and expanded its authority, including settling disputes shariah economic disputes, and within the Religious Courts may be established special courts, such as the Court Syari 'ah in Aceh province with the authority menyelesikan cases under the authority of the Religious and judge actions jinayah. Thus the existence of the Religious Courts agencies as one of the perpetrators body independent judicial power after the amendment of the Constitution. 1945 is constitutionally very strong

Item Type: Thesis (Master)
Contributors:
ContributionContributorsNIP/NIM
Thesis advisorTAHIR, PALMAWATI19590231986012002
Thesis advisorFIRDAUS, FIRDAUS197509132006041002
Additional Information: POLITIK HUKUM PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN SEBELUM DAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 UUD.1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menganut ajaran negara hukum dan kekuasaan kehakiman merdeka. Perjalanan sejarah NKRI mengalami penggantian konstitusi dari UUD.1945 kepada Konstitusi RIS, lalu kepada UUD. Sementara. Kembali lagi kepada UUD.1945, sehingga amanat Pasal 24 dan Pasal 25 UUD. 1945 tidak dapat dilaksanakan secara murni dan konsekwen, bahkan mengalami distorsi, sehingga badan-badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman warisan colonial masih tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan UUD.1945. Di nusantara telah diakui eksistensi Peradilan Agama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam, yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara mereka dalam perkara perdata dan pidana. Keadaan tersebut berlaku sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam dan sampai kedatangan VOC dengan politik hukumnya yang dikenal dengan teori reseptio in komplexu, yang digagas oleh Van den Berg. Kolonialisme Belanda mengubah teori politik hukum dengan teori receptio yang digagas oleh Snouck Hurgroje dan Ter Haar. Peradilan Agama tetap diakui, tetapi dan wewenangnya dibatasi dalam bidang hukum keluarga. Pengadilan Agama tidak dapat melaksanakan putusannya sendiri, harus dikukuhkan terlebih dahulu oleh Pengadilan Negeri. Hal demikian berlaku sampai Indonesia merdeka, bahkan sampai tahun 1970. Situasi politik hukum Peradilan Agama sebagai tersebut di atas, berakhir dengan disahkan UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dan sebagai badan peradilan yang mandiri dengan wewenang menyelesaikan perkara yang digariskan oleh Pasal 49 undang-undang tersebut dan dapat melaksanakan putusannya sendiri. Tetapi eksistensinya masih sangat memungkinkan dirubah atau dihapus, tergantung politik hukum badan pembuat undang-undang. Reformasi pada tahun 1998 yang berlanjut dengan perubahan UUD.1945, khusus perubahan Pasal 24 dan Pasal 25, yang mengatur Kekuasaan Kehakiman. Badan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasan kehakiman masuk di dalam Pasal 24 UUD.1945 hasil perubahan. Perubahan UUD. 1945 ditindak lanjuti dengan perubahan UU. No. 7 Tahun 1989 dengan UU. No. 3 Tahun 2006 dan UU.No.50 Tahun 2009. Berdasarkan undang-undang tersebut eksistensi, dan kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan wewenangnya diperluas, termasuk menyelesaikan perselisihan sengketa ekonomi syariah, dan di dalam lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk peradilan khusus, seperti Mahkamah Syari’ah di Provinsi Aceh dengan wewenang menyelesikan perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama dan perkara-perkara jinayah. Dengan demikian eksistensi badan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka setelah amandemen UUD. 1945 secara konstitusional sangat kuat
Uncontrolled Keywords: rule of law, independent judicial power, political legal, religious and judicial bodies as one of the perpetrators of independent judicial power Negara hukum, kekuasaan kehakiman yang merdeka, politik hukum, dan badan peradilan agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka
Subjects: K Law > K Law (General)
Divisions: 08-Pascasarjana
08-Pascasarjana > 74101-Magister Ilmu Hukum
Depositing User: Perpustakaan Pusat
Date Deposited: 31 Mar 2022 15:15
Last Modified: 31 Mar 2022 15:15
URI: http://eprints.untirta.ac.id/id/eprint/11305

Actions (login required)

View Item View Item