EFEKTIFITAS PELAKSANAAN MEDIASI PADA PENGADILAN AGAMA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Serang)

SODIKIN, SODIKIN (2014) EFEKTIFITAS PELAKSANAAN MEDIASI PADA PENGADILAN AGAMA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Serang). Master thesis, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Text
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN MEDIASI PADA PENGADILAN AGAMA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2002.PDF - Published Version
Restricted to Registered users only
Download (2MB)

Abstract

Stacking the case in the Supreme Court has inspired the Supreme Court to develop an mediation as a way of resolving disputes outside the courts, mediation is based on the development of thinking, because: involving all stakeholders and aims at a win-win solution. Supreme Court Regulation Nomor 1 of 2008 on Mediation confirms all civil disputes must attend mediation with the help of a mediator, so that peace is done optimally, then Mediation integrated with the judicial process (connected to the court) and also informal procedural law. If agreed Mediation may be terminated by the Settlement Deed, directly inkracht and closed opportunities further legal action. During these peace efforts by Judge ineffective, because: (1) the trial raises emotional and psychological tension, (2) examination bound by time and the rule of law program, making it difficult to reach a consensus, (3) examination of the facts and peristiswa has happened berkecendrungan leverage time factor, and (4) difficult to "caucus" to find an alternative solution. Religious Court has consistently practicing mediation, despite the achievements during the three (3) years, namely: in 2012, 213 and 2014 of the 4684 cases were received, only 1300 cases or 27.75% to mediation, while the remaining 1247 cases or 95, 56% declared unsuccessful mediation, while remaining as much as 3384 cases or 72.25% verstek examined. The author concluded that the ultimate goal is not only to peace mediation, but also reduced further legal action to appeal. Since most cases are the kind of marriage divorce, then even if the mediator fails to carry out mediation, but cases the Religious Courts tend not to take legal actions advanced, proven for 3 (three) years only receive as many as 25 cases of advanced legal remedy. If the successful mediation is how much their legal efforts continued, then mediation in the Religious Attack can be expressed successfully with significant, because in the 3 (three) years only received 25 cases or 4684: 25 x 100 = 0.53% further legal action, while if the size is the number of cases that ended with the peace deed, then mediation in Serang Religious Court declared ineffective, because for 3 (three) years only managed to mediate many as 53 cases, equivalent to 4.44% (four point forty four percent) per year 1300 cases were mediated.

Item Type:

Thesis (Master)

Contributors:

Contribution	Contributors	NIP/NIM
Thesis advisor	Tahir, Palmawati	195902031986012002
Thesis advisor	Rohani, Aceng Asnawi	196010251990031001

Additional Information:

Penumpukan perkara di tingkat kasasi telah menginspirasi Mahkamah Agung untuk mngembangkan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, pengembangan mediasi didasari pemikiran, karena: mengikutsertakan semua pihak dan bertujuan win-win solution. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 tentang Mediasi menegaskan semua sengketa perdata wajib mengikuti mediasi dengan bantuan mediator, sehingga agar perdamaiannya dilakukan secara maksimal, maka Mediasi diintegrasikan dengan proses peradilan (connected to the court) dan hukum acaranya pun bersifat informal. Jika disepakati Mediasi dapat diakhiri dengan Akta Perdamaian, langsung inkracht dan tertutup peluang upaya hukum lanjutan. Selama ini upaya perdamaian melalui Hakim tidak efektif, karena: (1) persidangan menimbulkan ketegangan emosional dan psikologis, (2) pemeriksaan terikat oleh waktu dan aturan hukum acara, sehingga sulit untuk mufakat, (3) pemeriksaan fakta dan peristiswa yang telah terjadi berkecendrungan mengungkit faktor lama, dan (4) sulit melakukan “kaukus” untuk menemukan solusi alternatif. Peradilan Agama telah konsisten mempraktikkan mediasi, sekalipun capaian selama 3 (tiga) tahun terakhir, yaitu: tahun 2012, 213 dan 2014 dari 4684 perkara yang diterima, hanya 1300 perkara atau 27,75% yang dapat mediasi, sedangkan sisanya 1247 perkara atau 95,56% dinyatakan gagal mediasi, sedangkan selebihnya sebanyak 3384 perkara atau 72,25% diperiksa secara verstek. Penulis berkesimpulan tujuan akhir mediasi bukan hanya dengan perdamaian, melainkan juga berkurangnya upaya hukum lanjutan ke tingkat kasasi. Karena kebanyakan perkara adalah bidang perkawinan jenis perceraian, maka sekalipun mediator gagal melaksanakan mediasi, akan tetapi perkara Pengadilan Agama berkecenderungan tidak melakukan upaya hukum lanjutan, terbukti selama 3 (tiga) tahun terakhir hanya menerima sebanyak 25 perkara upaya hukum lanjutan. Jika keberhasilan mediasi adalah seberapa banyak adanya upaya hukum lanjutan, maka mediasi di Pengadilan Agama Serang dapat dinyatakan berhasil dengan signifikan, karena dalam 3 (tiga) tahun hanya menerima 25 perkara atau 4684 : 25 x 100 = 0,53% upaya hukum lanjutan, sedangkan jika ukurannya banyaknya perkara yang berakhir dengan akta perdamaian, maka mediasi di Pengadilan Agama Serang dinyatakan tidak efektif, karena selama 3 (tiga) tahun terakhir hanya berhasil memediasi sebanyak 53 perkara atau setara dengan 4,44% (empat koma empat puluh empat persen) pertahun dari 1300 perkara yang dimediasi.

Uncontrolled Keywords:

Mediation, The Supreme Court Regulation Nomor 1 of 2008 Mediasi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008

Subjects:

K Law > K Law (General)

Divisions:

08-Pascasarjana
08-Pascasarjana > 74101-Magister Ilmu Hukum

Depositing User:

Perpustakaan Pusat

Date Deposited:

31 Mar 2022 08:39

Last Modified:

31 Mar 2022 08:39